Thursday, March 22, 2007

First Time on SEMARANG











Pada 19-21 Januari lalu, saya bertugas ke Semarang untuk event Nonton Bareng Liga Inggris Liverpool vs. Chelsea.




The Flight to Semarang
Sejujurnya saya setengah tidak antusias untuk bertugas luar kota. Apalagi kalau bukan karena musibah Adam Air yang sampai hari ini masih menyisakan ketakutan. Walaupun memang umur itu di tangan Tuhan, tapi kan tetap saja saya khawatir untuk naik pesawat. Apalagi maskapai pesawat yang saya naiki agak-agak setali tiga uang dengan Adam Air.




Sebenarnya saya dan teman-teman sudah mengusahakan untuk naik Garuda, mengingat selisihnya hanya limapuluh ribuan. Tapi apa daya, namanya juga dipesenin kantor.




Pukul empat pagi, 19 Januari, saya bangun dengan kantuk yang amat sangat. Setelah mandi dan berpakaian, saya shalat Shubuh sebelum berangkat ke kantor. Dan untuk menenangkan hati, saya shalat sunnah 2 rakaat lagi untuk keselamatan saya selama di perjalanan – yang membuat saya sedikit malu karena lebih mengingat Tuhan ketika membutuhkan-Nya saja.




Berbekal doa – juga dari teman-teman yang saya SMS untuk mohon doanya – saya akhirnya terbang ke Semarang dengan Batavia. Ternyata perjalanannya tidaklah semenakutkan yang saya kira. Pesawatnya on-time, tidak begitu banyak orang, cuaca cerah, dan pesawatnya cukup nyaman. Walau tetap tidak bisa tidur karena sibuk melihat arloji menghitung waktu perjalanan, saya cukup menikmati perjalanan pagi itu.




Sesampainya di Semarang, saya terkesima melihat ‘mungil’-nya Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang, yang – tanpa mengurangi rasa hormat – mengingatkan saya pada stasiun KA. But, hey, saya sudah ke Semarang sekarang!




The Team
Saya berangkat dengan Mas Anton, supervisor saya, disusul Mbak Anita, the big boss. Saya sekamar dengan dengan Mbak Anita sementara Mas Anton sekamar dengan Mas BJ, MC acara dan former co-worker saya. Keesokan harinya menyusul lagi Retno dan Verdi, kreatif dan cameraman yang bertugas meliput acara kami. Ada juga Mas Firman, Mas Oke, dan Mas Krisna dari Sudut Barat Production, EO yang membantu kami di Semarang dan Yogyakarta.




The Event
Kegiatan kali ini dimulai dengan ‘tour’ ke radio-radio yang menjadi mitra publikasi kami. Ada empat radio Semarang yang kami kunjungi: Gajahmada, Trax, C FM, dan Prambors. Di sana kami mempromosikan TRANS7 dan acara Nonton Bareng. Dan tidak lupa request lagu pribadi tentunya, hehehe…





The event was quite good. Tadinya saya kira nggak segitu ramenya. Setelah acara selesai, kami pun mampir ke rumah Tante Rosi, sepupu Mbak Anita, bos saya. Di sana kami disuguhi setumpukan kepiting dan kerang. Bener. Setumpuk. Dua baskom kepiting dan dua baskom kerang. Masya Allah banyaknya.





Setelah satu baskom kepiting dan satu baskom kerang (tujuh orang ternyata masih terlalu sedikit untuk menghabiskan semuanya), kamipun menikmati pemandangan malam dari rumah Tante Rosi yang berada di daerah yang tinggi di Semarang (saya lupa namanya). Dari beranda belakang rumahnya yang ala rumah Belanda lama, pemandangan pelabuhan, laut, dan mercusuar terlihat indah sekali. Kalau tinggal di sana mungkin kerjaan saya ngelamun tiap sore. Tapi niat ngelamun itu sedikit pudar ketika Tante Rosi dan saudara-saudaranya bercerita tentang banyaknya penampakan di rumah itu. Hiii…





Esok paginya, kami pun membagi-bagikan balon di Simpang Lima. Dengan hanya satu lap mengelilingi Simpang Lima, limaratus balon habis kami bagikan. Wow. Hari itu sepertinya Semarang dipenuhi balon TRANS7, hehehe…




JJS – Jalan-jalan di Semarang
Pertama kali sampai di Semarang, kami dibawa Mas Firman brunch di warung pecel yang katanya sih cukup terkenal. Saya lupa namanya. Tapi oke kok. Setelah itu kami ke hotel dan dijemput Tante Rosi untuk makan tahu pong. Lagi-lagi saya lupa namanya. Tapi makan tahu pong itu, tanpa nasi, kenyangnya minta ampun. Enaaak banget.





Sorenya, setelah wawancara radio, Mbak Anita menodong saya untuk mentraktir bakso. Sayangnya warung bakso yang kami datangi kurang oke. Standar banget. Enakan bakso kampung yang pake gerobak malah.





Setelah makan bakso kampung dan talk show di Trax, kami makan seafood di Simpang Lima. Enak juga sebetulnya. Tapi minyaknya agak-agak too greasy. Tapi cumi goreng menteganya enakkk, hehehe…





Ternyata makanan itu agak berdampak tidak baik. Perut Mbak Anita yang sensitif membuat bos saya itu muntah-muntah dan diare di tengah malam. Akibatnya, ketika ia mandi pagi agak lama, dengan cemas saya memanggil-manggilnya karena khawatir tiba-tiba ia suda tergeletak pingsan keracunan seafood, hehehe… Sementara kami? Yah, sebagai anak kampung, perut kami sudah bebal banget sepertinya.





Keesokan harinya, setelah menjemput Verdi dan Retno dan talk show radio, kami berputar-putar mencari makan siang. Karena lelah, akhirnya kami menyerah untuk makan… Mbok Berek aja gitu… Ini mah di Jakarta juga ada. Tapi ya namanya juga laper, jadi ya makan aja. Teteuuppp, hehehe…





Hari terakhir, setelah membagi-bagikan balon di Simpang Lima, kami ingin sarapan di warung pecel hari pertama itu lagi. Tapi malang tak dapat ditolak, warungnya belum buka! Akhirnya kami makan di warung pecel lain selewatnya. Di sini kami melancarkan propaganda untuk mengganti jam di warung itu dengan jam TRANS7. namun si pemilik tak mau mengganti jam lamanya. Alhasil, jam kami disandingkan di samping gambar Presiden SBY!





Kembali ke hotel, kami bersiap untuk membeli oleh-oleh sebelum pulang. Kami sudah memesan loenpia Ny. Lim (kalau tidak salah namanya begitu. Atau Ny. Lien ya? Entahlah) yang terkenal (dan cukup mahal – tujuh ribu satu, bo. Yang lain biasanya duaribu lima ratus sampai limaribuan. Tapi emang enak sih.) dan ingin makan es krim di Restoran Oen yang terkenal antik itu. Saya makan bistik lidah yang yummy dan es krim tutty frutty yang merupakan signature item-nya Oen.





Ada satu cerita (lumayan) lucu yang membuat saya teringat Mas Firman. Hari pertama, saya sudah mengutarakan bahwa saya ingin sekali makan es krim Oen. Dengan semangat Mas Firman menjawab, “Ada, Mbak, deket kok, itu di McD,” sambil menunjuk McDonalds Citraland (atau Mal Ciputra ya?). Saya membalas, “Hah? Emang pindah ya?” Mas Firman menjawab lagi, “Kan emang ada, Mbak.”





Untunglah pembicaraan nggak nyambung ini berakhir ketika saya bilang, “Tapi saya mau Oen yang lama aja ah. Lebih seru.” Mas Firman pun menepuk dahinya,”Oalah, Mbak mau es krim Oen toh, saya kira mau es krim cone.” Gubrakkk.





On the Way Home
Perjalanan pulang saya tidak kalah seru. Karena keukeuh ingin ke Oen, kami pun gambling dengan waktu check in. Sebetulnya sih sempet aja kalau saja si tukang loenpia nggak lupa membuatkan pesanan kami. Karena dia lupa, jadilah waktu kami bertambah untuk menunggu loenpia kami dibuatkan. Mempersingkat waktu, rombonganpun dibagi dua. Mas Anton diantar Mas Oke ke bandara duluan agar bisa check in. Mbak Anita dan saya kembali ke hotel, check out, dan membawa barang-barang dengan taksi. Untungnya hotel menawarkan jasa antar ke bandara jadi kami tak perlu repot mencari taksi.





God blessed us, kami sampai di bandara tepat waktu. Menunggu sekitar limabelas menit, kami pun naik ke Lion Air yang akan mengantarkan kami kembali ke ibukota.





Menurut riset yang entah dilakukan siapa dan beredar di internet, Lion Air berada di urutan kedua terbaik setelah Garuda. Who the hell who wrote that thing should be punched. Pesawat itu AC-nya tidak dinyalakan sebelum benar-benar tidak menapak bumi. Padahal di dalam pesawat kita menunggu lagi sekitar duapuluh menit sebelum take off. Panasnya setengah mati. Kursi pesawat berlapis kulit itu menambah gerah saja. Bete banget.





Dan di atas sana, entah kenapa, apakah memang ada turbulence atau pilotnya SIM-nya nembak, pesawatnya seringkali tiba-tiba turun. Serasa di Dufan saja. Mbak Anita terus berbicara, ngobrol apa saja. Entah ia memang sedang banyak yang ingin diceritakan, entah hanya kamuflase agar tidak terlalu memikirkan pesawat yang membuat kaki saya serasa tidak menapak seperti ketika saya naik perahu ayun (apa ya namanya?) di Dufan.





Setelah semakin sering turun ketinggian mendadak, terutama begitu mendekati bandara, syukur alhamdulillah pesawat itu akhirnya menjejak mantap di Cengkareng. Begitu kami berdiri hendak turun dan pintu terbuka, ternyata tangganya belum ada. Jadilah kami menunggu limabelas menit lagi di pesawat yang padat penumpang dan gerah itu. Saya sangat mengerti kenapa Garuda mahal harganya.





Tak hanya sampai di sana, kami pun harus menunggu barang-barang di bagasi selama setengah jam. Aduh lelahnya. Akhirnya saya pun berpisah dengan Mbak Anita dan Mas Anton karena memilih naik Damri pulang ke Bogor. Akhirnya, sampai juga saya di rumah.
What a journey.
2/11/07 9:37:18 PM

Eragon


Senin kemarin (18/12) saya nomat Eragon bersama Tika, teman saya. Saya emang udah ngebet banget. Ngebet nonton – karena sudah lamaaa sekali rasanya sejak saya terakhir nonton di bioskop (jam kantor saya memang agak tidak bersahabat) dan ngebet nonton Eragon – karena saya membaca dua bukunya (bahkan yang pertama saya baca sebelum buku itu jadi best seller) dan saya jatuh cinta pada ceritanya yang sangat imajinatif dan penuh fantasi. Saking ngebetnya, nggak dapet tiket jam 7 di Plangi, kami pun berburu ke Planet Hollywood walau harus menunggu sampai jam 9.15.

Alkisah, Eragon adalah anak muda yang ditakdirkan menjadi dragon rider atau penunggang naga. Waktu itu, hanya ada dua naga yang tersisa, milik Raja Galbatorix dan Saphira, naga Eragon. Si Raja merasa terancam dengan kehadiran Eragon dan Saphira. Cerita pun bergulir dengan perjuangan Eragon menghindari Galbatorix menuju kaum Varden, atau kaum pejuang untuk menghimpun kekuatan melawan Raja.

Eragon tidak sendiri. Dalam perjalanannya ia ditemani oleh Brom, mantan penunggang naga yang naganya mati dalam pertempuran melawan Galbatorix. Lalu nantinya ia juga akan ditemani oleh Aria, elf yang membawa telur Saphira.

Yang saya suka? Pertama, saya suka sekali dengan bukunya: Eragon dan Eldest. Dan sedang menanti buku ketiganya. Bagi saya, Eragon adalah Harry Potter (versi lebih dewasa) plus Lord of The Rings (dengan berbagai kaum (elf, manusia, Urgal, dan lainnya), tempat-tempat, dan bahasa yang beyond imagination) plus naga. Jadi tentunya saya suka kalau filmnya dibuat. Saya sudah menantinya sejak setahun yang lalu, sejak melihat teaser posternya di Cinemags.

Kedua, saya kagum dengan si pengarang, Christopher Paolini, yang menulis karya yang (menurut saya) bisa disejajarkan dengan karya JRR Tolkien dan JK Rowling. He wrote the first book when he was 18. Holy molly, saya sih asyik pacaran doang umur segitu, hehehe…

Ketiga, CGI-nya keren bangedh (dengan ‘dh’ dan bukan ‘t’ untuk penekanan). Sangat memanjakan mata saya yang tergila-gila sama film dan nggak kesampaian sekolah di New York Film Academy.

Keempat, I love the locations. Itu di mana ya syutingnya? I love the prairies, the mountains, the rivers… Sooo beautiful!
Yang saya tidak suka? Ceritanya tidak mendetil seperti LOTR. Mungkin itu memang kendala setiap buku yang difilmkan, tapi saya rasa film ini masih bisa jauh lebih baik – apalagi kalau dipegang Peter Jackson (ya iyalah…). ‘Roh’ ceritanya justru diperpendek. Misalnya, hubungan Eragon dengan Saphira, yang terjalin semakin kuat karena pertumbuhan Saphira yang sedikit demi sedikit, malah tidak ditampilkan. Jadinya bounding mereka tidak terasa.

Begitu pula dengan hubungan Eragon-Brom. Ketika Brom tewas, kok saya tidak merasa sedih ya? Padahal saya sedih ketika membaca bukunya.

Lalu, Aria yang kurang cantik. Walaupun kecantikan itu relatif, saya rasa tidak banyak yang protes ketika Liv Tyler menjadi elf cantik Arwen di LOTR. Tapi mungkin banyak yang merasa seperti saya, menganggap pemeran Aria kurang cantik untuk menjadi peri. Apalagi nanti ceritanya Eragon akan jatuh cinta pada Aria. Kurang mantabbb jadinya. Tapi toh hal ini sering terjadi, seperti halnya Cho Chang dan Fleur yang ternyata ‘visual’-nya biasa saja, agak sedikit di bawah ekspektasi para pembaca HP.

However, film ini cukup menghibur saya. Sangat menghibur bahkan. Saya cukup menikmatinya. Mudah-mudahan film kedua dan ketiga mendaulat Peter Jackson sebagai sutradara :D

Namun yang paling saya ingat dari film ini adalah ketika opening scene ditayangkan dan saya dan Tika melihat nama Joss Stone. Kami bertanya-tanya apakah Joss Stone namanya muncul itu adalah Joss Stone yang penyanyi itu. Tiba-tiba – ketika kami sudah lupa dengan perkara Joss Stone – eng ing eng muncullah Joss Stone sebagai Angela, si peramal! Agak-agak gubrak mengingat Angela (seingat saya) adalah wanita dewasa berambut merah sementara Joss Stone agak-agak terlalu muda lah ya… Untung saja bukan Hillary Duff atau Lindsay Lohan sekalian :D
12/24/06 1:22:39 AM

So Long, Friends...

Dalam minggu ini, saya kehilangan dua orang teman. Dua orang rekan kerja saya tidak melanjutkan pekerjaan mereka karena satu dan lain hal.

Hari Rabu lalu (20/12), rekan kerja pertama berpamitan saat kami sedang meeting. Para wanita pun bertangisan tak kuasa menahan sedih kehilangan dia yang sudah menjadi bagian dari keseharian kami.

Walaupun saya tidak begitu dekat dengannya, saya sangat sedih. Saya tahu, dia orang yang rajin dan bersungguh-sungguh dalam setiap tugasnya. Dia begitu baik hati. Dia tidak pernah merasa kesal atau marah pada seseorang. Semua dijalaninya dengan tenang.

Saya kehilangan dia. Kehilangan tebengan motor yang selalu dengan senang hati mengantarkan saya ke Blok M untuk menunggu shuttle bus ketika pulang seminggu sekali. Kehilangan jawaban, “Bisa diatur. Tinggal lewat aja ke sana,” ketika saya bertanya apakah ia melewati Blok M dalam perjalanannya. Kehilangan jargon, “Amaaan…” yang kerap ia lontarkan setiap kalo dimintai tolong.

Teman yang kedua berpamitan sehari setelah itu, Kamis (21/12). Berat rasanya melihat ia datang seperti biasa di pagi hari dan ketika kita sibuk dengan pekerjaan, dia mengetik goodbye letter-nya dalam diam.

Bahkan ketika ia masih hadir di dekat saya hari itu, saya sudah kehilangan canda tawanya. Kehilangan mulut besarnya. Kehilangan tipuan-tipuannya bila saya menanyakan sesuatu, seperti ketika saya menanyakan apa itu program Mikrofon Mieke. Kehilangan omelannya saat menonton Cipika Cipiki (yang ternyata adalah ‘jelmaan’ dari Mikrofon Mieke yang kami bicarakan itu) karena ia tidak menyukai salah seorang host – tapi entah kenapa ia tonton dan tonton terus setiap hari. Kehilangan teman ngegosip di pagi hari. Kenapa ia harus pergi ketika kasus Alda Rizma belum tuntas? Ketika Aa Gym masih perlu dikomentari? Ketika YZ dan ME masih tak tahu diri menunjukkan muka mereka di layar kaca?

Saya kehilangan dia. Dia yang kerapkali berjoget SMS dengan gaya vulgar yang membuat mual. Dia yang selalu ‘menjilat pantat’ bos-bos tanpa henti. Dia yang selalu mengingatkan saya untuk sering-sering minum padahal dia yang butuh teman minum ke pantry. Dia yang selalu bertanya, “Hestia, emang Tuhan lo komputer?!” untuk mengingatkan saya sholat padahal seringkali dialah yang belum sholat. Dia yang sering menjadi bahan taruhan apakah dia sudah pulang atau belum, karena ia selalu menyelinap pulang tanpa pamit ketika adzan Maghrib berkumandang. Dia yang menjadi teman saling menyemangati untuk berpuasa Senin-Kamis atau puasa Syawal. Dia yang kerapkali mem-forward dan mendiskusikan email-email nggak penting seperti ketika Ki Gendeng mengaku mendapat uang sekian ribu dollar dari intelnya Bush yang takut sama voodoo-nya Ki Gendeng.

Saya pernah dinas luar kota bersamanya. Dialah yang mengalah untuk tidur tanpa tempat tidur ketika saya terpaksa bergabung karena tidak dapat kamar hotel. Dialah yang mengajak saya sarapan. Dialah yang dengan cueknya mengajak saya pulang ke hotel untuk beristirahat sementara saya masih ragu karena takut diomelin. Dialah yang tanpa lelahnya bercuap-cuap ketika saya bekerjasama dengan radio untuk mempromosikan event kami (selain karena memang di banci tampil). Dialah partner saya dan Mbak Anita menjadi penyiar ‘radio rusak’ sepanjang perjalanan Bandung-Puncak yang tidak dapat menjangkau siaran radio apapun kecuali lagu-lagu dangdut.

Mas, nanti gue ke radio-radio sama siapa? Sama siapa lagi gue curhat tentang sinetron B****** di S**** dan H******* K***** yang ada burung sakti atau orang buta tapi kok make-up-nya rapi banget? Siapa yang akan jadi partner siaran ‘radio rusak’ gue, Mas?

Ketika ia datang di hari terakhirnya itu, kami berusaha bersikap biasa saja. Saya mengajaknya ngobrol walau kami tahu kami tak akan bisa berbagi canda yang serupa di pagi hari esok. Sampai akhirnya saat itu tiba. Saat ia harus berpamitan karena akan pulang. Dan tidak akan datang lagi besok ketika rutinitas kami menyapa.

Dia bilang, dia tak ingin berbicara karena akan sedih. Dia tidak ingin berpelukan seperti Teletubbies atau bercipika cipiki layaknya Mieke di pagi hari (BTW, Mas, kenapa sih judulnya Cipika Cipiki? Relevansinya apa ya?) karena takut tak kuasa menahan tangis. Tapi saya tidak peduli. Saya peluk ia. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan kami pun menangis.

Walaupun saya, mereka, dan semua orang mungkin berpikir yang terjadi ini adalah hal terbaik nantinya, tetap saja saya menulis ini dengan kesedihan yang sangat.

Gonna miss you two, Mas…
12/23/06 10:44:29 PM

Parodi

Saya selalu menanti-nantikan datangnya Kompas Minggu. Saya selalu suka Kompas Minggu karena di satu hari itu harian yang selalu saya baca ini tidak hanya dipenuhi berita-berita penting tapi membuat kepala pusing, tapi juga artikel-artikel ringan tapi tetap berbobot (nah, bagaimana mungkin sesuatu yang ringan tapi tetap berbobot? :D Tapi begitulah saya membahasakannya).

Di Kompas Minggu saya akan menemui section Kehidupan yang ditempatkan di section kedua dan berisi berbagai hal menarik yang diulas mendalam. Lalu ada rubrik Sosialita yang mengetengahkan profil orang-orang menarik. Ada Santap yang menghadirkan tempat-tempat makan yang khas. Ada Perjalanan yang membuat saya tahu tempat-tempat indah dan menarik yang ingin saya kunjungi kelak. Dan tentunya Cerpen yang tidak pernah biasa.
Most of all, saya suka sekali dengan Parodi, kolom yang ditulis Samuel Mulia. Tulisan-tulisan di kolom ini kerap menyentil saya. Apapun yang ditulis Pak Samuel, yang menyebut dirinya penulis mode dan gaya hidup, saya selalu suka. Gaya bahasanya ringan dan lugas. Hal-hal yang ditulisnya kadang-kadang terkesan remeh namun tetap penting buat saya.

Pada edisi Minggu ini (24/12), Pak Samuel (yang sejujurnya tidak saya ketahui tampangnya seperti apa) menulis tentang Natal. Walau tidak merayakan Natal, saya cukup ‘tersindir’ dengan tulisannya – yang bila dilihat dengan scope yang lebih besar bisa berarti hari raya apapun bagi semua penganut agama apapun juga. Karenanya saya ingin menyalin tulisan Pak Samuel ke dalam blog saya. Agar lebih banyak lagi yang bisa membaca dan meresapinya. Saya tidak tahu apakah perbuatan saya ini melanggar hukum atau tidak, tapi rasanya (dan mudah-mudahan memang) tidak karena saya toh mencantumkan nama penulis asli dan media aslinya, bukan mengakuinya sebagai tulisan saya. Keep reading.

NATAL
Menjelang hari raya seperti ini, saya juga larut dalam kegembiraan. Maksudnya, bukan larut dalam mengerti mengapa Natal itu penting buat saya, tetapi lebih pada larut pergi ke mal membeli baju baru serta membeli pohon terang dan aksesorinya.

Saya tak tahu apa alasan pohon cemara hijau itu dikatakan pohon terang. Mungkin pohon yang bisa menjadi lampu atau senter sekaligus.

Di dalam rumah, pohon terang tadi mulai dipasang kemudian dihiasi berikut dengan kapas putih yang melambangkan salju yang umumnya turun di negeri empat mjusim, apalagi pada penghujung tahun. Sementara rumah saya sendiri tak ada saljunya.

Negeri ini saja gerahnya setengah mati, tetapi pokoknya Natal sama dengan salju. Mau itu tak masuk akal, itu tak masalah. “Emang sekarang masih ada yang masuk akal?” celetuk teman saya.

Sepengetahuan IQ saya yang jongkok ini, pohon terang atau cemara tepatnya tak ada di sekeliling palungan tempat Yesus lahir. Dan waktu Ia lahir sepertinya tak ada salju pula. Jadi, setelah dipikir-pikir, saya inis edang memperingati kelahirannya siapa, ya?

Sinterklas atau Sang Khalik
Belum lagi memikirkan adanya sosok bernama Sinterklas. Saya tak tahu mengapa Sinterklas menjadi begitu penting, bahkan sudah menjadi ikon Natal. Di mal dan di hotel dan di seluruh dunia, Sinterklas dijadikan tokoh utama Natal. Sementara diorama kelahiran Sang Juru Selamat hanya menjadi bagian kecil dari sosok Sinterklas dan pohon terangnya. Dipikir-pikir, tentu lebih menarik melihat lampu menyala di pohon indah ketimbang melihat palungan yang sama sekali tidak menarik. Warnanya, apalagi bentuknya.
D
ulu semasa kecil, orangtua saya sering kali “mengirim” saya dan adik serta kakak ke hotel berbintang untuk merayakan Natal bersama Sinterklas. Kemudian saya heran, kok si bapak berkostum merah – saya tak tahu mengapa merah – dan berjanggut putih bisa memberi kado yang saya inginkan dan ia tahu soal kenakalan-kenakalan saya.

Setelah dewasa saya baru tahu, orangtua saya sudah menyetor hadiah berikut pemberitahuan kenakalan saya kepada Sinterklas dan Bapak Piet Hitam beberapa hari sebelumnya.

Kemudian saya sadar tak sedang memperingati kelahiran Sang Juru Selamat, tetapi malah sedang memperingati acara ritual tahunan yang membuat saya dapat menghadiri acara tukar kado, memasang pohon terang, mendapat THR, dan melihat Sinterklas. Jadi, intinya saya yang senang.

Begitulah kegiatan ini saya lakukan bertahun lamanya. Kalau merayakan hari raya seperti ini, saya bisa bangun lebih pagi daripada biasanya untuk pergi ke rumah ibadah. Alasan ke rumah ibadahnya pun sebetulnya karena saya merasa tak enak hati. Kok hari Natal tak ke gereja. Enggak afdol gitu loh. Padahal, sejujurnya, pukul delapan pagi itu terlalu subuh untuk saya.
Meskipun begitu, untuk hari khusus ini saya akan datang lebih pagi, membuka mata dengan terpaksa. Bangun pagi itu pun bukan karena keinginan merayakan dengan sukacita, tetapi karena alasan tempat duduknya sering kali habis sebelum jam kebaktian dimulai. Ini mirip seperti tiket habis sebelum JiFFest mulai. Rumah ibadah dikunjungi ribuan orang sampai membeludak ke luar pagar. Pokoknya sudah mirip konser Peterpan.

Jadi, daripada saya tak mendapat tempat duduk, saya merelakan diri berkorban bangun pagi. Dipikir-pikir hanya satu tahun sekali. Kalau hari di luar Natal, saya bisa memilih jam kebaktian sesuai kemampuan saya bangun pada pagi hari. “Bahkan kalau tak bisa bangun, jij enggak merasa bersalah juga, bukan?” sindir teman saya.

Prioritas
Ini juga yang mengherankan saya. Saya bisa bangun pagi dengan disiplin selama dua ratus empat puluh puluh hari untuk pergi ke kantor atau rapat dengan klien saya, meski seperti saya katakan tadi, pukul delapan itu masih terlalu pagi buat saya pergi ke rumah ibadah. Tetapi, buat klien saya bernama bank ini dan bank itu, saya rela pukul delapan pagi dengan mata sembab menghadiri breakfast meeting.

Tak jarang juga rapat-rapat itu dilakukan pada hari Minggu. Dan Anda sudah tahu, saya akan memprioritaskan datang ke rapat ketimbang ke rumah ibadah. Alasannya? Itu bisnis, ada uang berjuta-juta rupiah yang akan lalu begitu saja bila saya tidak hadir dan mempertahankan proposal yang saya kirimkan.

“Masih perlu mobil, masih perlu beli lukisan, masih perlu segaaalaaaa… ya, Mas,” kata teman saya.

Sesudah itu pun saya masih berpikir, rumah ibadah kan enggak lari ke mana-mana, tetapi klien saya? Waduh bisa mudah lari ke sana kemari. Sudah seperti kodok meloncat ke kiri dan ke kanan. Apalagi belakangan saingan makin bertambah. Sementara ke rumah ibadah saya tak dapat uang, malah sebaliknya. “Ya, kalau kantong persembahannya cuma dua, coba kalau tiga, ya, bo?” sindir teman saya. Saya hanya bisa diam. Mau tertunduk malu sudah tak ada gunanya.
Maka, besok saat saya melangkah ke rumah ibadah, saya akan mengevaluasi semuanya. Semoga ketika saya bangun pagi, itu bukan karena saya harus merayakan Natal sebagai ritual tahunan, tetapi saya mengerti mengapa saya harus bangun pagi.

Saya akan mengevaluasi lagi bahwa bila saya buru-buru ke gereja, itu bukan karena takut tempat duduknya tak ada yang tersisa, tetapi memprioritaskan Sang Khalik di atas segala-galanya. Saya akan mengevaluasi bahwa hadir di rumah ibadah pada hari raya seperti ini bukanlah waktunya saya membayar utang ketidakdisiplinan selama sekian ratus hari.

Setelah Natal lewat, saya akan mengevaluasi kegiatan saya ke rumah ibadah. Apakah saya akan ke gereja dengan semangat seperti hari Natal atau kembali lagi pada borok saya yang semula. Artinya, semoga saya tak berpikir Natal lebih penting daripada hari biasa sehingga pada hari biasa saya bisa kembali sak enake dewek.

Semoga pula rumah ibadah itu setiap minggu bisa membeludak, bukan hanya pada hari-hari khusus, seperti Natal ini. Karena Sang Khalik memberi napas hidup setiap hari, dan bukan hanya pada hari raya.

KILAS PARODI
Kalau…
1. Saya dapat bangun pagi setiap pagi selama masa empat puluh tahun ini. Itu berarti saya telah diberi nyawa sehingga saya dapat berfungsi sebagai makhluk yang hidup. Karena itu, seharusnyalah saya bersyukur dan takut kepada pemberi kesempatan menjadi makhluk yang hidup itu karena belum tentu minggu depan saya bisa menjumpai Anda sekalian.
2. Saya bisa datang satu jam – bahkan tiga jam – sebelum membeli tiket untuk menonton di Studio XXI agar tak kehabisan tiket dan mendapat tempat duduk yang nyaman, seharusnya saya bisa datang lebih awal atau paling tidak tepat waktu ke rumah ibadah supaya tak kehabisan tempat duduk dan mendapat duduk yang nyaman. Tetapi, kenyataannya? Saya datang selalu terlambat, bahkan ada lima puluh dua minggu yang disediakan untuk hadir di rumah ibadah, saya hanya absen dua minggu, yang lima puluh entah pergi ke mana. Padahal, tadi pagi saya bisa bangun dan bernyawa. Dan saya tahu itu bukan pemberian Studio XXI, tetapi saya lebih taat pada aturan Studio XXI.
3. Saya bisa rajin dan tepat waktu membayar tagihan listrik dan air pada setiap tanggal dua puluh, membayar kartu kredit yang ditetapkan bank, membayar pajak pada akhir Maret, mengikuti tenggat menyetor tulisan ini tiap minggunya tanpa protes, maka seharusnyalah saya bisa rajin dan tepat waktu membayar persembahan perpuluhan saya ke rumah ibadah tanpa protes. Kenyataannya? Saya rajin tiap bulan membayar semua yang disebut di atas, tetapi untuk urusan rumah ibadah saya hanya menyediakan dana selama dua bulan. Januari dan Desember, maksudnya.
4. Saya mampu mendisiplinkan diri datang satu jam sebelum pesawat melayang di udara, terutama kalau saya memilih pesawat terpagi, seperti saat saya ke Yogya pukul enam pagi. Itu berarti pukul lima pagi. Pukul berapakah saya harus bangun? Pukul empat pagi. Itu pun kalau rumah saya di tengah kota. Bayangkan kalau rumah saya di Bekasi Barat.
Pertanyaannya, mampukah saya bangun dan berdoa sebelum ayam berkokok? Sepertinya kok tidak. Tidak mau, maksudnya. Tetapi, saya mampu dan mau bangun untuk Garuda, Singapore Airlines, dan apa pun itu.
Padahal, saya bisa bangun pukul empat pagi dan hadir di lapangan terbang itu semata-mata karena kemurahan Sang Kuasa untuk memberi nyawa kepada saya dan bukan karena kebaikan maskapai penerbangan apa pun itu kepada saya.
5. Secara jujur saya mengevaluasi hidup ini. Ternyata saya lebih disiplin dan takut kepada dunia ketimbang kepada Sang Pemberi Nyawa.

(Ditulis oleh Samuel Mulia, Penulis Mode dan Gaya Hidup, dimuat di Kompas, Minggu, 24 Desember 2006)
12/25/06 1:14:13 AM

Orang Baik

Ketika sedang makan siang di KFC Tendean, entah dari mana mulanya, saya dan teman-teman berbagi cerita tentang orang-orang baik yang tidak kita duga.

Seorang teman bercerita tentang seorang supir taksi yang ia naiki dekat kantor. Si supir taksi bercerita (nah lho, cerita dalam cerita jadinya) bahwa sebelum teman saya ini naik taksinya, seorang wanita naik taksinya dan ‘curhat’ bahwa ia tidak punya uang. (Nggak punya uang kok naik taksi toh, Mbak?) Si wanita bilang bahwa ia ingin pulang ke rumahnya (entah di mana, saya lupa, yang jelas cukup jauh).

Si supir taksi pun bingung. Ia baru saja narik dan belum mendapat uang. Uang yang dimilikinya tidaklah cukup untuk mengongkosi wanita itu. Akhirnya ia bilang pada wanita itu agar menunggunya di halte. Setelah ia mendapat uang, ia akan kembali dan memberi si wanita itu uang untuk pulang.

Teman saya iseng bertanya, “Terus setelah nganter saya Bapak balik lagi ke ibu-ibu itu?” Dan si supir taksi dengan mantap menjawab, “Iya lah, Mas. Kan saya sudah janji mau bantu dia.”

Saya tidak tahu apakah teman saya ngarang (karena toh dia sering banget ngibul), si supir taksinya yang ngarang, atau apakah si supir taksi memang benar-benar kembali membantu wanita itu. Mudah-mudahan memang begitu. Memang kembali dan membantu si ibu itu tentunya, bukan memang teman saya atau si supir taksi ngarang.

Kalau saya, saya pernah merasakan sendiri baiknya seorang supir taksi tanpa saya duga. Maksudnya bukan dengar ceritanya seperti si teman saya yang doyan ngibul ini.

Ceritanya, waktu itu saya jadi SPG di sebuah pameran otomotif. Saya berangkat pagi naik shuttle bus dari rumah, turun di Komdak dan melanjutkan naik P6 sampai Jakarta Convention Center (JCC). ketika di shuttle bus, saya menyadari bahwa dompet saya ketinggalan di rumah. Untungnya saya memang selalu menyediakan dompet receh di bagpack merah saya untuk ongkos. Pertimbangan saya, uang saya cukup untuk sampai JCC sementara ibu saya toh sudah on the way mengantarkan dompet saya.

Malangnya saya, si P6 menyebalkan itu entah kenapa hari itu tak mau berhenti di JCC. Alasannya ada polisi. Terusss? Kan di situ ada halte. Alasan yang tidak logis tapi tak perlu diperdebatkan lebih lanjut.

Alhasil, saya turun setelah lewat Gedung MPR/DPR. Jalan kaki balik tidak mungkin. Mau naik umum, waktu itu pengetahuan saya tentang rute kendaraan umum belumlah memadai. Lagipula saya sudah hampir telat untuk tugas jaga.

Akhirnya saya menyetop taksi. Saya perhitungkan uang saya yang tersisa limabelas ribu akan cukup untuk membayar taksi. Toh hanya memutar dan belok kanan bukan?

Ternyata tidak semudah itu. Jalanan di ruas sebelah sana setelah saya memutar balik ternyata lumayan macet. Saya pun mulai ketar ketir uang saya tidak cukup membayar taksi.

Saya pun memutuskan untuk jujur pada si supir taksi. Saya menceritakan masalah saya dan bilang bahwa ia tidak perlu khawatir karena saya tetap akan membayarnya tapi menunggu ibu saya. Saya memang memilih membayar mahal memintanya menunggu karena saya tidak mau merugikan dia. Ini kesalahan saya, juga keapesan saya.

Jawaban yang saya dapat dari si bapak supir sungguh mengejutkan. “Mbak, gimana kalau kita matikan saja argonya. Mbak saya antar. Nggak usah bayar.” Saya yang masih setengah tidak percaya, menolak dengan halus, jangan sampai saya tidak membayar jasanya. Akhirnya ia ‘berkompromi’, “Mbak bayarnya seadanya deh. Nggak apa-apa kok.” Dengan lega saya pun setuju, setidaknya saya tidak ‘memanfaatkan’ si supir taksi yang baik untuk mengantarkan saya dengan gratis.

Ketika sampai, saya menyerahkan limabelas ribu saya padanya. Namun ia mengembalikan limaribunya. “Siapa tahu nanti butuh, Mbak. Jangan sampai tidak pegang uang sama sekali.” Sumpah, kalau tidak malu, ingin rasanya saya menangis terharu.

Semoga Tuhan memberkati bapak itu, di manapun ia berada.

Rumah Cinta

Saya baru saja mengisi sebuah kuis di Majalah CosmoGIRL! edisi Januari 2007. Judul kuisnya Seperti Apa Rumah Cinta Milikmu? Judul yang aneh, menurut saya. Ternyata sih lebih ke ‘apa gaya kita ketika having relationship’. Kira-kira seperti itu lah.

Ada lima pertanyaan – yang menurut saya agak kurang untuk melihat kepribadian kita. Saya lebih suka kuis ala Tickle.com yang agak panjang tapi membuat saya relatif lebih mempercayai keabsahannya. Anyway, kembali ke topik awal, pertanyaannya adalah seputar target pacaran saya tahun depan (agak bingung menjawabnya karena yang ada di pikiran saya saat ini hanyalah target dalam karier. I love my job for now); bagaimana reaksi saya kalau ada cowok yang ngajakin kenalan di mal (sejujurnya saya lebih ingin menjawab: pergi menjauh karena takut dihipnotis. Tapi sayangnya nggak ada dalam option-nya); apa yang saya lakukan ketika baru putus (partner in crime saya, Anton, pasti bisa menjawabnya); apa reaksi saya bila dijodohkan (nggak masalah kalau memenuhi kriteria saya); dan seleb mana yang kehidupan cintanya paling mirip dengan kehidupan cinta saya (Natalie Portman, tentunya – dengan statement: “Dia lebih baik menjomblo daripada coba-coba pacaran sama cowok yang bukan tipenya”).

Untuk hasilnya, ada empat macam: Rumah Singgah, Kosong, Penuh Sesak, dan Rumah Idaman. Rumah Singgah itu kalau kita langsung berganti pacar baru setiap kali putus. Kosong – selalu cepat menolak setiap cowok yang tidak sesuai kriteria. Penuh Sesak – kebanyakan flirting tanpa pernah menjalin hubungan serius. Dan Rumah Idaman – kurang lebih ‘the right man on the right time’ lah.

Ayo tebak yang mana kepribadian ‘rumah cinta’ saya? Tadinya, saya kira saya akan mendapat hasil Kosong. Secara gitu ya, saya suka males sama yang nanggung-nanggung. Buang waktu aja, buat saya. Tapi ternyata eh ternyata, saya dapat ‘tipe’ rumah idaman lho! Katanya, “Kamu tahu betul bagaimana harus mengatur rumah cintamu. Saat cinta datang berkunjung, kamu akan menerimanya dengan senang hati. Sikapmu yang open minded akan membawamu ke masa depan yang lebih romantis.” Alamakkk… Masa sih? Benarkah saya begitu? :D
12/24/06 12:41:28 AM

Menyesal

Hari ini saya janjian ketemu Hanum, teman saya, untuk berburu DVD di ITC Kuningan. Kami bertemu di Plaza Semanggi karena saya ingin membeli beberapa peralatan mendempul wajah alias kosmetik yang katanya sih sedang sale (saya bilang ‘katanya’ karena si mbak-mbak pramuniaga jutek itu ketahuan membohongi saya dengan sok bilang harga salah satu kosmetik itu tadinya sekian padahal saya jelas-jelas tahu harganya sama persis dengan harga ‘diskon’ itu). Setelah itu kami ngobrol (tepatnya Hanum curhat tentang seorang laki-laki. What?! Ternyata Hanum wanita juga ya :D) di Oh La La lalu cabut ke Kuningan.

Lalu kenapa saya menyesal? Apakah karena menghabiskan lumayan banyak uang untuk membeli bedak dan kawan-kawannya? Hmm, tidak juga. Karena toh yang menyuruh membeli ibu saya tersayang. Dan saya sempat berkonsultasi perlu-tidaknya, sayang-tidaknya saya membeli segala macam peralatan itu. Dan karena beliau bilang untuk siapa lagi uangnya bila bukan untuk membahagiakan anaknya dan kebetulan beliau sedang dapat rezeki jadi no problemo kalau uang itu dibelanjakan dan (lagi) toh nanti pasti berguna secara pekerjaan saya menuntut saya menambah ketebalan kulit wajah dengan bedak dan mewarnainya dengan blush-on atau sekedar lipgloss (wow, ternyata saya jadi lumayan dandan setelah bekerja. Coba bandingkan dengan zaman kuliah dulu. Tapi kok tetap saja bos saya tersayang itu bilang saya kurang dandan ya?).

Jadi, apakah saya menyesal karena menghabiskan uang membeli tigapuluh keping DVD plus bonus tiga keping? Tidak juga. Karena saya tahu toh cepat atau lambat saya akan melakukannya untuk membalas hasrat tak tersalurkan untuk menonton JIFFEST yang lalu (FYI, tahun lalu, saya bolos kuliah selama seminggu untuk menonton JIFFEST. Jadi mengerti kan seberapa despert-nya saya tidak bisa mengulang ‘orgasme’ yang sama tahun ini?). Lagian beberapa film adalah titipan adik saya (nggak mau disalahin sendiri, hehehe…). Dan toh terakhir saya memborong DVD seperti itu adalah dua bulan lalu. Jadi kira-kira masih masuk lah budget-nya. (Pembelaan diri banget ya? Heheheh…)

Jadi saya menyesal karena apa dong? Saya menyesal makan malam pukul setengah sepuluh. Udah ngantuk tapi nggak enak tidur jadinya. Berat gitu rasanya. Salah saya juga sih, waktu makan saya terlalu jauh. Sarapan hanya sedikit lalu jalan-jalan tanpa makan siang atau makan kudapan sekalipun. Pulang-pulang bukannya langsung makan malah kecentilan nyobain lipgloss baru. Mau makan sendiri males. Begitu mama saya pulang jam sembilanan dan tahu saya belum makan, luluhlah pertahanan saya untuk berniat makan besok saja. Secara langsung disiapin gitu lho. Enak banget makan anget-anget pas ujan gini. Belum lagi ditambah dengan jarangnya saya menikmati that kind of attention dari ibu saya sejak ‘merantau’ bekerja di ibu kota yang konon lebih kejam dari ibu tiri.

Jadilah saya menyesal malam ini. Ndut deh… Kayak sekarang nggak ndut aja ya, hehehe…
12/24/06 12:18:42 AM