Thursday, March 22, 2007

First Time on SEMARANG











Pada 19-21 Januari lalu, saya bertugas ke Semarang untuk event Nonton Bareng Liga Inggris Liverpool vs. Chelsea.




The Flight to Semarang
Sejujurnya saya setengah tidak antusias untuk bertugas luar kota. Apalagi kalau bukan karena musibah Adam Air yang sampai hari ini masih menyisakan ketakutan. Walaupun memang umur itu di tangan Tuhan, tapi kan tetap saja saya khawatir untuk naik pesawat. Apalagi maskapai pesawat yang saya naiki agak-agak setali tiga uang dengan Adam Air.




Sebenarnya saya dan teman-teman sudah mengusahakan untuk naik Garuda, mengingat selisihnya hanya limapuluh ribuan. Tapi apa daya, namanya juga dipesenin kantor.




Pukul empat pagi, 19 Januari, saya bangun dengan kantuk yang amat sangat. Setelah mandi dan berpakaian, saya shalat Shubuh sebelum berangkat ke kantor. Dan untuk menenangkan hati, saya shalat sunnah 2 rakaat lagi untuk keselamatan saya selama di perjalanan – yang membuat saya sedikit malu karena lebih mengingat Tuhan ketika membutuhkan-Nya saja.




Berbekal doa – juga dari teman-teman yang saya SMS untuk mohon doanya – saya akhirnya terbang ke Semarang dengan Batavia. Ternyata perjalanannya tidaklah semenakutkan yang saya kira. Pesawatnya on-time, tidak begitu banyak orang, cuaca cerah, dan pesawatnya cukup nyaman. Walau tetap tidak bisa tidur karena sibuk melihat arloji menghitung waktu perjalanan, saya cukup menikmati perjalanan pagi itu.




Sesampainya di Semarang, saya terkesima melihat ‘mungil’-nya Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang, yang – tanpa mengurangi rasa hormat – mengingatkan saya pada stasiun KA. But, hey, saya sudah ke Semarang sekarang!




The Team
Saya berangkat dengan Mas Anton, supervisor saya, disusul Mbak Anita, the big boss. Saya sekamar dengan dengan Mbak Anita sementara Mas Anton sekamar dengan Mas BJ, MC acara dan former co-worker saya. Keesokan harinya menyusul lagi Retno dan Verdi, kreatif dan cameraman yang bertugas meliput acara kami. Ada juga Mas Firman, Mas Oke, dan Mas Krisna dari Sudut Barat Production, EO yang membantu kami di Semarang dan Yogyakarta.




The Event
Kegiatan kali ini dimulai dengan ‘tour’ ke radio-radio yang menjadi mitra publikasi kami. Ada empat radio Semarang yang kami kunjungi: Gajahmada, Trax, C FM, dan Prambors. Di sana kami mempromosikan TRANS7 dan acara Nonton Bareng. Dan tidak lupa request lagu pribadi tentunya, hehehe…





The event was quite good. Tadinya saya kira nggak segitu ramenya. Setelah acara selesai, kami pun mampir ke rumah Tante Rosi, sepupu Mbak Anita, bos saya. Di sana kami disuguhi setumpukan kepiting dan kerang. Bener. Setumpuk. Dua baskom kepiting dan dua baskom kerang. Masya Allah banyaknya.





Setelah satu baskom kepiting dan satu baskom kerang (tujuh orang ternyata masih terlalu sedikit untuk menghabiskan semuanya), kamipun menikmati pemandangan malam dari rumah Tante Rosi yang berada di daerah yang tinggi di Semarang (saya lupa namanya). Dari beranda belakang rumahnya yang ala rumah Belanda lama, pemandangan pelabuhan, laut, dan mercusuar terlihat indah sekali. Kalau tinggal di sana mungkin kerjaan saya ngelamun tiap sore. Tapi niat ngelamun itu sedikit pudar ketika Tante Rosi dan saudara-saudaranya bercerita tentang banyaknya penampakan di rumah itu. Hiii…





Esok paginya, kami pun membagi-bagikan balon di Simpang Lima. Dengan hanya satu lap mengelilingi Simpang Lima, limaratus balon habis kami bagikan. Wow. Hari itu sepertinya Semarang dipenuhi balon TRANS7, hehehe…




JJS – Jalan-jalan di Semarang
Pertama kali sampai di Semarang, kami dibawa Mas Firman brunch di warung pecel yang katanya sih cukup terkenal. Saya lupa namanya. Tapi oke kok. Setelah itu kami ke hotel dan dijemput Tante Rosi untuk makan tahu pong. Lagi-lagi saya lupa namanya. Tapi makan tahu pong itu, tanpa nasi, kenyangnya minta ampun. Enaaak banget.





Sorenya, setelah wawancara radio, Mbak Anita menodong saya untuk mentraktir bakso. Sayangnya warung bakso yang kami datangi kurang oke. Standar banget. Enakan bakso kampung yang pake gerobak malah.





Setelah makan bakso kampung dan talk show di Trax, kami makan seafood di Simpang Lima. Enak juga sebetulnya. Tapi minyaknya agak-agak too greasy. Tapi cumi goreng menteganya enakkk, hehehe…





Ternyata makanan itu agak berdampak tidak baik. Perut Mbak Anita yang sensitif membuat bos saya itu muntah-muntah dan diare di tengah malam. Akibatnya, ketika ia mandi pagi agak lama, dengan cemas saya memanggil-manggilnya karena khawatir tiba-tiba ia suda tergeletak pingsan keracunan seafood, hehehe… Sementara kami? Yah, sebagai anak kampung, perut kami sudah bebal banget sepertinya.





Keesokan harinya, setelah menjemput Verdi dan Retno dan talk show radio, kami berputar-putar mencari makan siang. Karena lelah, akhirnya kami menyerah untuk makan… Mbok Berek aja gitu… Ini mah di Jakarta juga ada. Tapi ya namanya juga laper, jadi ya makan aja. Teteuuppp, hehehe…





Hari terakhir, setelah membagi-bagikan balon di Simpang Lima, kami ingin sarapan di warung pecel hari pertama itu lagi. Tapi malang tak dapat ditolak, warungnya belum buka! Akhirnya kami makan di warung pecel lain selewatnya. Di sini kami melancarkan propaganda untuk mengganti jam di warung itu dengan jam TRANS7. namun si pemilik tak mau mengganti jam lamanya. Alhasil, jam kami disandingkan di samping gambar Presiden SBY!





Kembali ke hotel, kami bersiap untuk membeli oleh-oleh sebelum pulang. Kami sudah memesan loenpia Ny. Lim (kalau tidak salah namanya begitu. Atau Ny. Lien ya? Entahlah) yang terkenal (dan cukup mahal – tujuh ribu satu, bo. Yang lain biasanya duaribu lima ratus sampai limaribuan. Tapi emang enak sih.) dan ingin makan es krim di Restoran Oen yang terkenal antik itu. Saya makan bistik lidah yang yummy dan es krim tutty frutty yang merupakan signature item-nya Oen.





Ada satu cerita (lumayan) lucu yang membuat saya teringat Mas Firman. Hari pertama, saya sudah mengutarakan bahwa saya ingin sekali makan es krim Oen. Dengan semangat Mas Firman menjawab, “Ada, Mbak, deket kok, itu di McD,” sambil menunjuk McDonalds Citraland (atau Mal Ciputra ya?). Saya membalas, “Hah? Emang pindah ya?” Mas Firman menjawab lagi, “Kan emang ada, Mbak.”





Untunglah pembicaraan nggak nyambung ini berakhir ketika saya bilang, “Tapi saya mau Oen yang lama aja ah. Lebih seru.” Mas Firman pun menepuk dahinya,”Oalah, Mbak mau es krim Oen toh, saya kira mau es krim cone.” Gubrakkk.





On the Way Home
Perjalanan pulang saya tidak kalah seru. Karena keukeuh ingin ke Oen, kami pun gambling dengan waktu check in. Sebetulnya sih sempet aja kalau saja si tukang loenpia nggak lupa membuatkan pesanan kami. Karena dia lupa, jadilah waktu kami bertambah untuk menunggu loenpia kami dibuatkan. Mempersingkat waktu, rombonganpun dibagi dua. Mas Anton diantar Mas Oke ke bandara duluan agar bisa check in. Mbak Anita dan saya kembali ke hotel, check out, dan membawa barang-barang dengan taksi. Untungnya hotel menawarkan jasa antar ke bandara jadi kami tak perlu repot mencari taksi.





God blessed us, kami sampai di bandara tepat waktu. Menunggu sekitar limabelas menit, kami pun naik ke Lion Air yang akan mengantarkan kami kembali ke ibukota.





Menurut riset yang entah dilakukan siapa dan beredar di internet, Lion Air berada di urutan kedua terbaik setelah Garuda. Who the hell who wrote that thing should be punched. Pesawat itu AC-nya tidak dinyalakan sebelum benar-benar tidak menapak bumi. Padahal di dalam pesawat kita menunggu lagi sekitar duapuluh menit sebelum take off. Panasnya setengah mati. Kursi pesawat berlapis kulit itu menambah gerah saja. Bete banget.





Dan di atas sana, entah kenapa, apakah memang ada turbulence atau pilotnya SIM-nya nembak, pesawatnya seringkali tiba-tiba turun. Serasa di Dufan saja. Mbak Anita terus berbicara, ngobrol apa saja. Entah ia memang sedang banyak yang ingin diceritakan, entah hanya kamuflase agar tidak terlalu memikirkan pesawat yang membuat kaki saya serasa tidak menapak seperti ketika saya naik perahu ayun (apa ya namanya?) di Dufan.





Setelah semakin sering turun ketinggian mendadak, terutama begitu mendekati bandara, syukur alhamdulillah pesawat itu akhirnya menjejak mantap di Cengkareng. Begitu kami berdiri hendak turun dan pintu terbuka, ternyata tangganya belum ada. Jadilah kami menunggu limabelas menit lagi di pesawat yang padat penumpang dan gerah itu. Saya sangat mengerti kenapa Garuda mahal harganya.





Tak hanya sampai di sana, kami pun harus menunggu barang-barang di bagasi selama setengah jam. Aduh lelahnya. Akhirnya saya pun berpisah dengan Mbak Anita dan Mas Anton karena memilih naik Damri pulang ke Bogor. Akhirnya, sampai juga saya di rumah.
What a journey.
2/11/07 9:37:18 PM

No comments: