Thursday, March 22, 2007

So Long, Friends...

Dalam minggu ini, saya kehilangan dua orang teman. Dua orang rekan kerja saya tidak melanjutkan pekerjaan mereka karena satu dan lain hal.

Hari Rabu lalu (20/12), rekan kerja pertama berpamitan saat kami sedang meeting. Para wanita pun bertangisan tak kuasa menahan sedih kehilangan dia yang sudah menjadi bagian dari keseharian kami.

Walaupun saya tidak begitu dekat dengannya, saya sangat sedih. Saya tahu, dia orang yang rajin dan bersungguh-sungguh dalam setiap tugasnya. Dia begitu baik hati. Dia tidak pernah merasa kesal atau marah pada seseorang. Semua dijalaninya dengan tenang.

Saya kehilangan dia. Kehilangan tebengan motor yang selalu dengan senang hati mengantarkan saya ke Blok M untuk menunggu shuttle bus ketika pulang seminggu sekali. Kehilangan jawaban, “Bisa diatur. Tinggal lewat aja ke sana,” ketika saya bertanya apakah ia melewati Blok M dalam perjalanannya. Kehilangan jargon, “Amaaan…” yang kerap ia lontarkan setiap kalo dimintai tolong.

Teman yang kedua berpamitan sehari setelah itu, Kamis (21/12). Berat rasanya melihat ia datang seperti biasa di pagi hari dan ketika kita sibuk dengan pekerjaan, dia mengetik goodbye letter-nya dalam diam.

Bahkan ketika ia masih hadir di dekat saya hari itu, saya sudah kehilangan canda tawanya. Kehilangan mulut besarnya. Kehilangan tipuan-tipuannya bila saya menanyakan sesuatu, seperti ketika saya menanyakan apa itu program Mikrofon Mieke. Kehilangan omelannya saat menonton Cipika Cipiki (yang ternyata adalah ‘jelmaan’ dari Mikrofon Mieke yang kami bicarakan itu) karena ia tidak menyukai salah seorang host – tapi entah kenapa ia tonton dan tonton terus setiap hari. Kehilangan teman ngegosip di pagi hari. Kenapa ia harus pergi ketika kasus Alda Rizma belum tuntas? Ketika Aa Gym masih perlu dikomentari? Ketika YZ dan ME masih tak tahu diri menunjukkan muka mereka di layar kaca?

Saya kehilangan dia. Dia yang kerapkali berjoget SMS dengan gaya vulgar yang membuat mual. Dia yang selalu ‘menjilat pantat’ bos-bos tanpa henti. Dia yang selalu mengingatkan saya untuk sering-sering minum padahal dia yang butuh teman minum ke pantry. Dia yang selalu bertanya, “Hestia, emang Tuhan lo komputer?!” untuk mengingatkan saya sholat padahal seringkali dialah yang belum sholat. Dia yang sering menjadi bahan taruhan apakah dia sudah pulang atau belum, karena ia selalu menyelinap pulang tanpa pamit ketika adzan Maghrib berkumandang. Dia yang menjadi teman saling menyemangati untuk berpuasa Senin-Kamis atau puasa Syawal. Dia yang kerapkali mem-forward dan mendiskusikan email-email nggak penting seperti ketika Ki Gendeng mengaku mendapat uang sekian ribu dollar dari intelnya Bush yang takut sama voodoo-nya Ki Gendeng.

Saya pernah dinas luar kota bersamanya. Dialah yang mengalah untuk tidur tanpa tempat tidur ketika saya terpaksa bergabung karena tidak dapat kamar hotel. Dialah yang mengajak saya sarapan. Dialah yang dengan cueknya mengajak saya pulang ke hotel untuk beristirahat sementara saya masih ragu karena takut diomelin. Dialah yang tanpa lelahnya bercuap-cuap ketika saya bekerjasama dengan radio untuk mempromosikan event kami (selain karena memang di banci tampil). Dialah partner saya dan Mbak Anita menjadi penyiar ‘radio rusak’ sepanjang perjalanan Bandung-Puncak yang tidak dapat menjangkau siaran radio apapun kecuali lagu-lagu dangdut.

Mas, nanti gue ke radio-radio sama siapa? Sama siapa lagi gue curhat tentang sinetron B****** di S**** dan H******* K***** yang ada burung sakti atau orang buta tapi kok make-up-nya rapi banget? Siapa yang akan jadi partner siaran ‘radio rusak’ gue, Mas?

Ketika ia datang di hari terakhirnya itu, kami berusaha bersikap biasa saja. Saya mengajaknya ngobrol walau kami tahu kami tak akan bisa berbagi canda yang serupa di pagi hari esok. Sampai akhirnya saat itu tiba. Saat ia harus berpamitan karena akan pulang. Dan tidak akan datang lagi besok ketika rutinitas kami menyapa.

Dia bilang, dia tak ingin berbicara karena akan sedih. Dia tidak ingin berpelukan seperti Teletubbies atau bercipika cipiki layaknya Mieke di pagi hari (BTW, Mas, kenapa sih judulnya Cipika Cipiki? Relevansinya apa ya?) karena takut tak kuasa menahan tangis. Tapi saya tidak peduli. Saya peluk ia. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan kami pun menangis.

Walaupun saya, mereka, dan semua orang mungkin berpikir yang terjadi ini adalah hal terbaik nantinya, tetap saja saya menulis ini dengan kesedihan yang sangat.

Gonna miss you two, Mas…
12/23/06 10:44:29 PM

No comments: