Wednesday, March 21, 2007

On A Lazy Monday Morning

Written on Nov 12th, 2006
11.27 PM

Pagi ini seharusnya serupa dengan Senin-pagi-Senin-pagi lainnya ketika saya memulai sebuah minggu untuk bekerja. Mungkin yang berbeda hanyalah, pagi ini saya kembali bekerja setelah seminggu puas beristirahat di rumah karena mendapat cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1427 H (mengutip pengumuman dari HRD di intranet kantor).

Tapi ternyata pagi ini tidak sama dengan pagi-pagi lainnya itu. Pertama, entah kenapa semalam saya mengalami insomnia. Padahal siang sampai malamnya saya pergi dengan seorang sahabat mengelilingi kota Bogor (yah, mungkin agak terlalu berlebihan menyebutnya ‘mengelilingi kota Bogor’, sementara kami hanya mondar mandir dari tempat yang satu ke tempat yang lain di jalan yang sama). Semestinya saya merasa lelah lalu tidur lebih cepat karena besok harus kembali bekerja.

Awalnya saya memang merasa mengantuk. Tapi ternyata dua orang teman menelepon saya untuk mengobrol dengan durasi yang cukup lama. Setelah itu, saya tetap merasa lelah, tapi sama sekali tidak bisa memejamkan mata.

Setelah membaca empat komik, membolak-balik majalah, dan hadap-kanan-hadap-kiri-peluk-guling-tendang-guling-pakai-selimut-buang-selimut di tempat tidur, saya tertidur pukul 4 dini hari (kira-kira begitu, karena terakhir saya melihat jam adalah pukul 4.30 lebih), sementara saya harus bangun pukul 5 subuh.

Setelah memperpanjang jatah tidur sampai setengah enam, saya pun (terpaksa) bangun dengan harapan bisa melanjutkan mimpi di shuttle bus yang akan mengantarkan saya dari rumah ke kantor.

Ternyata mimpi saya itu harus saya buang jauh-jauh. Sesampainya di terminal shuttle bus, saya tidak menemukan bis berwarna putih bergambar logo kompleks perumahan saya itu.

Bersama beberapa penumpang lain yang juga bingung, saya melihat di papan pengumuman bahwa jadwal bis untuk hari ini dan besok adalah jadwal sementara yang selama ini diberlakukan selama libur Lebaran – yang berarti bis pukul 07.00 yang akan saya naiki, tak ada.

Mau tidak mau, saya mengumpat dalam hati. Bagaimana tidak, beberapa hari sebelumnya saya sudah memastikan jadwal untuk hari ini. Dan dari informasi yang saya dapat, jadwal akan kembali normal pada hari ini.

Saya pun bingung. Keberangkatan berikutnya adalah pukul 10.00. dan itu adalah tiga jam lagi. Saya kan sangat telat sampai kantor. Walaupun kantor saya relatif longgar dalam hal jam masuk, tapi tetap saja saya kesal karena waktu saya akan terbuang percuma.

Semula saya sempat berpikir untuk kembali ke rumah. Mungkin akan lebih baik tidur daripada mendongkol tidak keruan. Tapi lalu saya putuskan untuk menunggu sejenak karena para penumpang lain yang senasib mulai berdatangan. Siapa tahu kami bisa bersama-sama naik taksi atau apalah, begitu pikir saya.

Beberapa bapak-bapak mulai naik darah dan membentak petugas yang ada. Ternyata pengumuman perubahan jadwal itu baru ditempel kemarin sore. Ya ampun, libur-libur Lebaran begini siapa juga yang sempat mengecek ke terminal?

Tensi suara di ruangan kantor kecil itu semakin tinggi. Ada seorang bapak menggebrak meja. Sejujurnya, saya tidak suka dengan perbuatan itu. Tapi terbukti hal itu cukup efektif. Si bapak berhasil mendapatkan nomor HP salah seorang bos perusahaan yang menjalankan shuttle bus tersebut, memarah-marahinya juga, sampai seorang montir mengambil keputusan untuk menjalankan bis.

Saya tidak tahu apakah si montir nantinya akan dipuji karena bisa mengambil keputusan atau malah dimarahi bosnya karena sok mengambil keputusan. Saya berharap hal pertamalah yang terjadi. Karena atas jasanyalah, sekitar 20 orang dapat berangkat mencari nafkah. Termasuk saya.

Ada beberapa hal yang saya ‘garisbawahi’ dari pengalaman saya pagi ini. Pertama, tentang jadwal yang (seenaknya) mereka ubah di saat-saat terakhir. Sebagai pekerja media (walaupun masih baru), saya cukup terbiasa dengan perubahan jadwal di saat-saat terakhir. Tapi terkadang kita membiasakan hal itu terjadi. Kita bisa dengan mudahnya membuat janji dengan teman, misalnya, lalu membatalkannya karena malas atau ada acara lain yang lebih menarik. Padahal mungkin teman kita juga punya rencana lain – yang akhirnya juga tidak bisa lakukan karena ia sudah berjanji pada kita.

Saya jadi tersenyum sendiri mengingat betapa seringnya saya melakukan itu. Mudah-mudahan teman-teman saya memaafkan saya karena biasanya itu semata karena tuntutan pekerjaan. Atau saya berusaha memberitahu mereka jauh-jauh waktu, tidak di saat-saat terakhir.

Kedua, seperti yang saya sudah ceritakan, saya tidak begitu suka dengan cara seorang bapak mebentak-bentak sampai menggebrak meja di kejadian ini. Tapi, ya, seperti yang juga telah saya tulis, cara itu efektif dan berhasil membuat saya sampai di kantor tepat waktu.
Apakah kita memang telah terbiasa dengan nada tinggi, bentakan, dan emosi, hanya untuk digerakkan, untuk bekerja? Apakah kita sudah tidak mempan diberitahu lewat kata-kata yang sopan? Apakah kita sudah tidak bisa berubah bila tidak dimarahi terlebih dahulu? Entahlah. Mudah-mudahan saya tidak begitu.

Ketiga, entah kenapa, niat saya untuk tidur sejenak di perjalanan tidak bisa terwujud. Mata ini memang sedang senang melek rupanya. Alhasil, tak terhitung berapa kali saya menguap di kantor.

Oh, well, mungkin seperti kata Boomtown Rats, I (just) Don’t Like (this) Monday (morning)
12.29 AM on the next day

No comments: