Wednesday, March 21, 2007

Dunia dan Perempuan


Written on November 3rd, 2006
12.29 AM

Saya baru saja pulang dari meeting yang dibatalkan pukul 9.30 malam setelah menunggu empat jam lamanya. Setelah mandi malam-malam (tentunya bukan mandi kembang, karena mandi kembang biasanya tengah malam) dan mencuci (sebagai bagian dari ritual anak kos), saya beristirat sambil mendengarkan radio.

Di radio yang saya dengarkan itu, seorang wanita muda (saya rasa ia masih muda karena segmen radio ini kira-kira 15 – 25 tahunan) menelepon. Dengan suara bergetar dan sedikit terbata-bata, ia curhat bahwa ia hamil di luar nikah dan si pria pacarnya menghilang entah ke mana.

Sambil mendengarkan, saya berpikir betapa tidak adilnya hal seperti itu bagi perempuan. Ketika seorang perempuan hamil di luar nikah, si lelaki punya dua pilihan: kabur, tidak bertanggungjawab atau bertanggungjawab.

They have two choices. Pilihan pertama bisa dinilai ‘menguntungkan’. Tidak harus pusing putus kuliah atau putus sekolah, tidak harus pusing menghadapi orangtua, tidak harus pusing menghadapi masyarakat.

Perempuan juga punya pilihan: melanjutkan kehamilan atau menggugurkannya. Keduanya bisa dibilang tidak menguntungkan. Melanjutkan kehamilan berarti menghadapi orangtua yang marah, sedih, kecewa, dan murka; kemungkinan putus kuliah atau putus sekolah; menghadapi pandangan masyarakat yang merasa paling tahu segalanya; dan mengemban tanggungjawab yang sangat besar sebagai orangtua di usia muda. Pilihan kedua, menggugurkannya, tak kalah menyeramkan: mandul, trauma, rasa bersalah seumur hidup, atau kematian karena tindakan aborsi ilegal. Dua pilihan yang tidak terasa sebagai sesuatu yang bisa dipilih. Dua pilihan yang saya harap tidak pernah harus saya pilih.

And to make it worse, perempuan akan dengan mudahnya mendapat stigma yang sama sekali tidak adil. “Perempuannya juga sih yang kecentilan.” Atau “Dandanannya sih begitu.” Atau “Yah, lagian dia juga kenapa mau.” Kalau ada jargon blame it on the weatherman, dalam kasus ini bisa jadi ada jargon blame it all on the woman.

It takes two to tango. Begitu pula dalam berhubungan. Ada ‘kontribusi’ dari kedua belah pihak: pria dan wanita. Bahkan, in some cases like date-raping, ‘it doesn’t take two to tango’. Tapi dalam hal tanggung jawab, perempuan dihadapkan pada tanggungjawab yang relatif lebih berat.

Saya menulis seperti ini bukan karena saya feminis. Saya menghormati pria dengan batasan mereka juga menghormati saya. Saya cuma berpikir betapa dunia terkadang (atau seringkali?) begitu tidak adil bagi perempuan. Dan saya merasa sedih.
01.01 AM

No comments: