Thursday, March 22, 2007

Parodi

Saya selalu menanti-nantikan datangnya Kompas Minggu. Saya selalu suka Kompas Minggu karena di satu hari itu harian yang selalu saya baca ini tidak hanya dipenuhi berita-berita penting tapi membuat kepala pusing, tapi juga artikel-artikel ringan tapi tetap berbobot (nah, bagaimana mungkin sesuatu yang ringan tapi tetap berbobot? :D Tapi begitulah saya membahasakannya).

Di Kompas Minggu saya akan menemui section Kehidupan yang ditempatkan di section kedua dan berisi berbagai hal menarik yang diulas mendalam. Lalu ada rubrik Sosialita yang mengetengahkan profil orang-orang menarik. Ada Santap yang menghadirkan tempat-tempat makan yang khas. Ada Perjalanan yang membuat saya tahu tempat-tempat indah dan menarik yang ingin saya kunjungi kelak. Dan tentunya Cerpen yang tidak pernah biasa.
Most of all, saya suka sekali dengan Parodi, kolom yang ditulis Samuel Mulia. Tulisan-tulisan di kolom ini kerap menyentil saya. Apapun yang ditulis Pak Samuel, yang menyebut dirinya penulis mode dan gaya hidup, saya selalu suka. Gaya bahasanya ringan dan lugas. Hal-hal yang ditulisnya kadang-kadang terkesan remeh namun tetap penting buat saya.

Pada edisi Minggu ini (24/12), Pak Samuel (yang sejujurnya tidak saya ketahui tampangnya seperti apa) menulis tentang Natal. Walau tidak merayakan Natal, saya cukup ‘tersindir’ dengan tulisannya – yang bila dilihat dengan scope yang lebih besar bisa berarti hari raya apapun bagi semua penganut agama apapun juga. Karenanya saya ingin menyalin tulisan Pak Samuel ke dalam blog saya. Agar lebih banyak lagi yang bisa membaca dan meresapinya. Saya tidak tahu apakah perbuatan saya ini melanggar hukum atau tidak, tapi rasanya (dan mudah-mudahan memang) tidak karena saya toh mencantumkan nama penulis asli dan media aslinya, bukan mengakuinya sebagai tulisan saya. Keep reading.

NATAL
Menjelang hari raya seperti ini, saya juga larut dalam kegembiraan. Maksudnya, bukan larut dalam mengerti mengapa Natal itu penting buat saya, tetapi lebih pada larut pergi ke mal membeli baju baru serta membeli pohon terang dan aksesorinya.

Saya tak tahu apa alasan pohon cemara hijau itu dikatakan pohon terang. Mungkin pohon yang bisa menjadi lampu atau senter sekaligus.

Di dalam rumah, pohon terang tadi mulai dipasang kemudian dihiasi berikut dengan kapas putih yang melambangkan salju yang umumnya turun di negeri empat mjusim, apalagi pada penghujung tahun. Sementara rumah saya sendiri tak ada saljunya.

Negeri ini saja gerahnya setengah mati, tetapi pokoknya Natal sama dengan salju. Mau itu tak masuk akal, itu tak masalah. “Emang sekarang masih ada yang masuk akal?” celetuk teman saya.

Sepengetahuan IQ saya yang jongkok ini, pohon terang atau cemara tepatnya tak ada di sekeliling palungan tempat Yesus lahir. Dan waktu Ia lahir sepertinya tak ada salju pula. Jadi, setelah dipikir-pikir, saya inis edang memperingati kelahirannya siapa, ya?

Sinterklas atau Sang Khalik
Belum lagi memikirkan adanya sosok bernama Sinterklas. Saya tak tahu mengapa Sinterklas menjadi begitu penting, bahkan sudah menjadi ikon Natal. Di mal dan di hotel dan di seluruh dunia, Sinterklas dijadikan tokoh utama Natal. Sementara diorama kelahiran Sang Juru Selamat hanya menjadi bagian kecil dari sosok Sinterklas dan pohon terangnya. Dipikir-pikir, tentu lebih menarik melihat lampu menyala di pohon indah ketimbang melihat palungan yang sama sekali tidak menarik. Warnanya, apalagi bentuknya.
D
ulu semasa kecil, orangtua saya sering kali “mengirim” saya dan adik serta kakak ke hotel berbintang untuk merayakan Natal bersama Sinterklas. Kemudian saya heran, kok si bapak berkostum merah – saya tak tahu mengapa merah – dan berjanggut putih bisa memberi kado yang saya inginkan dan ia tahu soal kenakalan-kenakalan saya.

Setelah dewasa saya baru tahu, orangtua saya sudah menyetor hadiah berikut pemberitahuan kenakalan saya kepada Sinterklas dan Bapak Piet Hitam beberapa hari sebelumnya.

Kemudian saya sadar tak sedang memperingati kelahiran Sang Juru Selamat, tetapi malah sedang memperingati acara ritual tahunan yang membuat saya dapat menghadiri acara tukar kado, memasang pohon terang, mendapat THR, dan melihat Sinterklas. Jadi, intinya saya yang senang.

Begitulah kegiatan ini saya lakukan bertahun lamanya. Kalau merayakan hari raya seperti ini, saya bisa bangun lebih pagi daripada biasanya untuk pergi ke rumah ibadah. Alasan ke rumah ibadahnya pun sebetulnya karena saya merasa tak enak hati. Kok hari Natal tak ke gereja. Enggak afdol gitu loh. Padahal, sejujurnya, pukul delapan pagi itu terlalu subuh untuk saya.
Meskipun begitu, untuk hari khusus ini saya akan datang lebih pagi, membuka mata dengan terpaksa. Bangun pagi itu pun bukan karena keinginan merayakan dengan sukacita, tetapi karena alasan tempat duduknya sering kali habis sebelum jam kebaktian dimulai. Ini mirip seperti tiket habis sebelum JiFFest mulai. Rumah ibadah dikunjungi ribuan orang sampai membeludak ke luar pagar. Pokoknya sudah mirip konser Peterpan.

Jadi, daripada saya tak mendapat tempat duduk, saya merelakan diri berkorban bangun pagi. Dipikir-pikir hanya satu tahun sekali. Kalau hari di luar Natal, saya bisa memilih jam kebaktian sesuai kemampuan saya bangun pada pagi hari. “Bahkan kalau tak bisa bangun, jij enggak merasa bersalah juga, bukan?” sindir teman saya.

Prioritas
Ini juga yang mengherankan saya. Saya bisa bangun pagi dengan disiplin selama dua ratus empat puluh puluh hari untuk pergi ke kantor atau rapat dengan klien saya, meski seperti saya katakan tadi, pukul delapan itu masih terlalu pagi buat saya pergi ke rumah ibadah. Tetapi, buat klien saya bernama bank ini dan bank itu, saya rela pukul delapan pagi dengan mata sembab menghadiri breakfast meeting.

Tak jarang juga rapat-rapat itu dilakukan pada hari Minggu. Dan Anda sudah tahu, saya akan memprioritaskan datang ke rapat ketimbang ke rumah ibadah. Alasannya? Itu bisnis, ada uang berjuta-juta rupiah yang akan lalu begitu saja bila saya tidak hadir dan mempertahankan proposal yang saya kirimkan.

“Masih perlu mobil, masih perlu beli lukisan, masih perlu segaaalaaaa… ya, Mas,” kata teman saya.

Sesudah itu pun saya masih berpikir, rumah ibadah kan enggak lari ke mana-mana, tetapi klien saya? Waduh bisa mudah lari ke sana kemari. Sudah seperti kodok meloncat ke kiri dan ke kanan. Apalagi belakangan saingan makin bertambah. Sementara ke rumah ibadah saya tak dapat uang, malah sebaliknya. “Ya, kalau kantong persembahannya cuma dua, coba kalau tiga, ya, bo?” sindir teman saya. Saya hanya bisa diam. Mau tertunduk malu sudah tak ada gunanya.
Maka, besok saat saya melangkah ke rumah ibadah, saya akan mengevaluasi semuanya. Semoga ketika saya bangun pagi, itu bukan karena saya harus merayakan Natal sebagai ritual tahunan, tetapi saya mengerti mengapa saya harus bangun pagi.

Saya akan mengevaluasi lagi bahwa bila saya buru-buru ke gereja, itu bukan karena takut tempat duduknya tak ada yang tersisa, tetapi memprioritaskan Sang Khalik di atas segala-galanya. Saya akan mengevaluasi bahwa hadir di rumah ibadah pada hari raya seperti ini bukanlah waktunya saya membayar utang ketidakdisiplinan selama sekian ratus hari.

Setelah Natal lewat, saya akan mengevaluasi kegiatan saya ke rumah ibadah. Apakah saya akan ke gereja dengan semangat seperti hari Natal atau kembali lagi pada borok saya yang semula. Artinya, semoga saya tak berpikir Natal lebih penting daripada hari biasa sehingga pada hari biasa saya bisa kembali sak enake dewek.

Semoga pula rumah ibadah itu setiap minggu bisa membeludak, bukan hanya pada hari-hari khusus, seperti Natal ini. Karena Sang Khalik memberi napas hidup setiap hari, dan bukan hanya pada hari raya.

KILAS PARODI
Kalau…
1. Saya dapat bangun pagi setiap pagi selama masa empat puluh tahun ini. Itu berarti saya telah diberi nyawa sehingga saya dapat berfungsi sebagai makhluk yang hidup. Karena itu, seharusnyalah saya bersyukur dan takut kepada pemberi kesempatan menjadi makhluk yang hidup itu karena belum tentu minggu depan saya bisa menjumpai Anda sekalian.
2. Saya bisa datang satu jam – bahkan tiga jam – sebelum membeli tiket untuk menonton di Studio XXI agar tak kehabisan tiket dan mendapat tempat duduk yang nyaman, seharusnya saya bisa datang lebih awal atau paling tidak tepat waktu ke rumah ibadah supaya tak kehabisan tempat duduk dan mendapat duduk yang nyaman. Tetapi, kenyataannya? Saya datang selalu terlambat, bahkan ada lima puluh dua minggu yang disediakan untuk hadir di rumah ibadah, saya hanya absen dua minggu, yang lima puluh entah pergi ke mana. Padahal, tadi pagi saya bisa bangun dan bernyawa. Dan saya tahu itu bukan pemberian Studio XXI, tetapi saya lebih taat pada aturan Studio XXI.
3. Saya bisa rajin dan tepat waktu membayar tagihan listrik dan air pada setiap tanggal dua puluh, membayar kartu kredit yang ditetapkan bank, membayar pajak pada akhir Maret, mengikuti tenggat menyetor tulisan ini tiap minggunya tanpa protes, maka seharusnyalah saya bisa rajin dan tepat waktu membayar persembahan perpuluhan saya ke rumah ibadah tanpa protes. Kenyataannya? Saya rajin tiap bulan membayar semua yang disebut di atas, tetapi untuk urusan rumah ibadah saya hanya menyediakan dana selama dua bulan. Januari dan Desember, maksudnya.
4. Saya mampu mendisiplinkan diri datang satu jam sebelum pesawat melayang di udara, terutama kalau saya memilih pesawat terpagi, seperti saat saya ke Yogya pukul enam pagi. Itu berarti pukul lima pagi. Pukul berapakah saya harus bangun? Pukul empat pagi. Itu pun kalau rumah saya di tengah kota. Bayangkan kalau rumah saya di Bekasi Barat.
Pertanyaannya, mampukah saya bangun dan berdoa sebelum ayam berkokok? Sepertinya kok tidak. Tidak mau, maksudnya. Tetapi, saya mampu dan mau bangun untuk Garuda, Singapore Airlines, dan apa pun itu.
Padahal, saya bisa bangun pukul empat pagi dan hadir di lapangan terbang itu semata-mata karena kemurahan Sang Kuasa untuk memberi nyawa kepada saya dan bukan karena kebaikan maskapai penerbangan apa pun itu kepada saya.
5. Secara jujur saya mengevaluasi hidup ini. Ternyata saya lebih disiplin dan takut kepada dunia ketimbang kepada Sang Pemberi Nyawa.

(Ditulis oleh Samuel Mulia, Penulis Mode dan Gaya Hidup, dimuat di Kompas, Minggu, 24 Desember 2006)
12/25/06 1:14:13 AM

No comments: