Thursday, March 22, 2007

Orang Baik

Ketika sedang makan siang di KFC Tendean, entah dari mana mulanya, saya dan teman-teman berbagi cerita tentang orang-orang baik yang tidak kita duga.

Seorang teman bercerita tentang seorang supir taksi yang ia naiki dekat kantor. Si supir taksi bercerita (nah lho, cerita dalam cerita jadinya) bahwa sebelum teman saya ini naik taksinya, seorang wanita naik taksinya dan ‘curhat’ bahwa ia tidak punya uang. (Nggak punya uang kok naik taksi toh, Mbak?) Si wanita bilang bahwa ia ingin pulang ke rumahnya (entah di mana, saya lupa, yang jelas cukup jauh).

Si supir taksi pun bingung. Ia baru saja narik dan belum mendapat uang. Uang yang dimilikinya tidaklah cukup untuk mengongkosi wanita itu. Akhirnya ia bilang pada wanita itu agar menunggunya di halte. Setelah ia mendapat uang, ia akan kembali dan memberi si wanita itu uang untuk pulang.

Teman saya iseng bertanya, “Terus setelah nganter saya Bapak balik lagi ke ibu-ibu itu?” Dan si supir taksi dengan mantap menjawab, “Iya lah, Mas. Kan saya sudah janji mau bantu dia.”

Saya tidak tahu apakah teman saya ngarang (karena toh dia sering banget ngibul), si supir taksinya yang ngarang, atau apakah si supir taksi memang benar-benar kembali membantu wanita itu. Mudah-mudahan memang begitu. Memang kembali dan membantu si ibu itu tentunya, bukan memang teman saya atau si supir taksi ngarang.

Kalau saya, saya pernah merasakan sendiri baiknya seorang supir taksi tanpa saya duga. Maksudnya bukan dengar ceritanya seperti si teman saya yang doyan ngibul ini.

Ceritanya, waktu itu saya jadi SPG di sebuah pameran otomotif. Saya berangkat pagi naik shuttle bus dari rumah, turun di Komdak dan melanjutkan naik P6 sampai Jakarta Convention Center (JCC). ketika di shuttle bus, saya menyadari bahwa dompet saya ketinggalan di rumah. Untungnya saya memang selalu menyediakan dompet receh di bagpack merah saya untuk ongkos. Pertimbangan saya, uang saya cukup untuk sampai JCC sementara ibu saya toh sudah on the way mengantarkan dompet saya.

Malangnya saya, si P6 menyebalkan itu entah kenapa hari itu tak mau berhenti di JCC. Alasannya ada polisi. Terusss? Kan di situ ada halte. Alasan yang tidak logis tapi tak perlu diperdebatkan lebih lanjut.

Alhasil, saya turun setelah lewat Gedung MPR/DPR. Jalan kaki balik tidak mungkin. Mau naik umum, waktu itu pengetahuan saya tentang rute kendaraan umum belumlah memadai. Lagipula saya sudah hampir telat untuk tugas jaga.

Akhirnya saya menyetop taksi. Saya perhitungkan uang saya yang tersisa limabelas ribu akan cukup untuk membayar taksi. Toh hanya memutar dan belok kanan bukan?

Ternyata tidak semudah itu. Jalanan di ruas sebelah sana setelah saya memutar balik ternyata lumayan macet. Saya pun mulai ketar ketir uang saya tidak cukup membayar taksi.

Saya pun memutuskan untuk jujur pada si supir taksi. Saya menceritakan masalah saya dan bilang bahwa ia tidak perlu khawatir karena saya tetap akan membayarnya tapi menunggu ibu saya. Saya memang memilih membayar mahal memintanya menunggu karena saya tidak mau merugikan dia. Ini kesalahan saya, juga keapesan saya.

Jawaban yang saya dapat dari si bapak supir sungguh mengejutkan. “Mbak, gimana kalau kita matikan saja argonya. Mbak saya antar. Nggak usah bayar.” Saya yang masih setengah tidak percaya, menolak dengan halus, jangan sampai saya tidak membayar jasanya. Akhirnya ia ‘berkompromi’, “Mbak bayarnya seadanya deh. Nggak apa-apa kok.” Dengan lega saya pun setuju, setidaknya saya tidak ‘memanfaatkan’ si supir taksi yang baik untuk mengantarkan saya dengan gratis.

Ketika sampai, saya menyerahkan limabelas ribu saya padanya. Namun ia mengembalikan limaribunya. “Siapa tahu nanti butuh, Mbak. Jangan sampai tidak pegang uang sama sekali.” Sumpah, kalau tidak malu, ingin rasanya saya menangis terharu.

Semoga Tuhan memberkati bapak itu, di manapun ia berada.

No comments: